Rutinitas seringkali membuat seseorang menjadi jenuh dan butuh ekspresi diri untuk menghilangkan penat। Hingar bingar dan kebisingan kota membuat hati dan pikiran semakin dirundung keletihan। Wisata ke daerah yang baru dan asri adalah salah satu pilihan banyak orang untuk melepas penat dan kejenuhan hati, jiwa, dan pikiran। Orang terkadang memilih pergi keluar negeri untuk berlibur, tentunya bagi kalangan atas। Uang bukanlah menjadi suatu masalah bagi mereka, yang terpenting hati puas. Namun, seringkali timbul sisi negatif yaitu tidak dikenalnya wisata nusantara oleh mereka yang memandang bepergian keluar negeri dapat meningkatkan prestige. Padahal, kecintaan terhadap negeri sendiri juga perlu dijaga. Jangan sampai justru orang asaing yang nantinya akan mengenal kebudayaan, peninggalan sejarah, dan semua tentang nusantara dibandingkan orang negeri sendiri. Hal ini telah saya alami ketika berkunjung di Candi Cetha, salah satu candi di Gunung Lawu yang pengunjungnya justru ramai dari turis Jepang, bule, dan turis asing lainnya. Padahal, Candi Cetha ini memiliki suasana yang sangat asri dan pas untuk mendapatkan udara segar serta melepas penat dan kejenuhan dari rutinitas. Kunjugan ke kompleks Candi Cetha ini akan memberikan informasi yang bagus untuk para pengunjungnya.
Kompleks candi Cetha terletak di lereng barat Gunung Lawu berada pada ketinggian ± 1.400 meter dari permukaan laut. Hawa sejuk pegunungan inilah yang membuat pikiran menjadi tenang dan nyaman. Asupan oksigen yang selama ini “mahal” di daerah perkotaan dapat dibeli dengan “murah” di area ini. Berikut dengan pemandangan yang menakjubkan dari nenek moyang kita sebagai warisan bersama yang patut dilestarikan. Bila dilihat dari garis astronomis, kompleks candi Cetha terletak pada 111o 09` 14” BT dan 07o 35’ 48” LS. Sedangkan secara administratif, berada di Dukuh Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Sebagian besar penduduk di daerah ini adalah sebagai petani, terutama petani sayuran. Serta sebagian wanitanya juga bekerja sebagai pemetik teh. Pemandangan alam yang indah selama perjalanan menuju kompleks Candi Cetha. Kita disuguhkan dengan kebun teh yang terhampar luas dan tidak kalah cantiknya dengan kebun teh di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Ingin rasanya kembali ke sana. Sudah dua kali saya berkunjung ke daerah ini, setiap kali melihat dokumentasi yang saya abadikan, saya semakin rindu akan ketenangan tempat yang disuguhkan. Sungguh, ketenangan yang belum bisa saya dapatkan di daerah lain. Hal inilah yang membawa kerinduan yang nyata untuk kembali ke sini.
Keberadaan kompleks candi Cetha pertama kali dilaporkan oleh Van der Vlis pada tahun 1842. Selanjutnya, kekunoannya banyak mendapat perhatian dari para ahli purbakala seperti W.F. Stutterheim, K.C. Crucq, N.J. Krom, A.J. Bernet Kempers, Riboet Darmosoetopo dkk. Pada tahun 1928 Dinas Purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Kesadaran bahwa warisan nusantara tidak boleh dibiarkan begitu saja, telah mendorong orang-orang untuk mulai meneliti dan melestarikan candi Cetha. Sungguh, suatu usaha yang nyata dari para pendahulu kita untuk terus memelihara harta warisan nenek moyang tidak boleh kita hentikan. Tidak boleh berhenti pada generasi kita, apalagi generasi handal seperti sobat, kita haruslah selalu senantiasa menjaga, merawat, mencintai, dan melestarikan. Sesuatu yang baru akan datang karena ketertarikan dan keingintahuan kita akan sesuatu yang baru. Namun, seorang yang bijak akan selalu senantiasa menjaga dan mempertahankan pula sesuatu yang sudah lama ada. Mari kita mulai menumbuhkan rasa cinta kita terhadap kekayaan budaya dan peninggalan sejarah yang telah diwariskan ke kita. Tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, marilah kita mulai untuk mengenal candi Cetha terlebih dahulu dari cerita sejarahnya. Lantas, lanjutkan dengan tapak tilas ke kompleks Candi Cetha. Alangkah indahnya salah satu surga dunia yang Tuhan persembahkan ke kita. Marilah kita sebagai generasi penerus bangsa melestarikan warisan budaya nusantara, salah satunya mencintai peninggalan sejarah nusantara.
Berdasarkan penelitian Van der Vlis maupun A.J. Bernet Kempers komplek candi Cetha terdiri dari empat belas teras. Namun kenyataan yang ada pada saat ini kompleks candi Cetha terdiri dari tiga belas teras berundak yang tersusun dari barat ke timur, makin ke belakang makin tinggi dan dianggap paling suci. Masing-masing halaman teras dihunbungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua. Bentuk seni bangunan candi Cetha mempunyai kesamaan dengan candi Sukuh yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa Prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak ditemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali candi Sukuh. Keunikan inilah yang menjadi salah satu daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi candi Cetha. Tentu, selain untuk menikmati hamparan kebun teh yang luas. Selain, itu kunjungan ke kompleks candi Cetha juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk beribadah bagi umat Hindu. Tidak ada salahnya kan, menikmati indahnya bangunan bersejarah yang terdapat di lereng gunung Lawu. Hal ini, dapat membuat kita semakin bersemangat untuk bekerja keras. Bagaimana tidak, para nenek moyang kita di zaman Prasejarah saja bisa berkarya dengan sangat indahnya membangun kompleks candi Cetha di ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut. Apalgi, karya mereka mampu bertahan selama ratusan bahkan hampir ribuan tahun lamanya, dan bermanfaat bagi kita semua. Lantas, apa sulitnya untuk kita dalam berkarya di tengah tekhnologi yang semakin canggih, sarana dan prasarana yang semakin lengkap, asupan makanan yang cukup, beragam, dan bergizi. Pastilah kita harus mampu untuk berkarya.
Pada kompleks candi Cetha banyak dijumpai arca-arca yang mempunyai ciri-ciri masa Prasejarah misalnya arca digambarkan dalam bentuk sederhana, kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Sikap arca semacam ini menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada, Sulawesi Tengah. selain itu, juga terdapat relief-relief yang menggambarkan adegan cerita Cuddhamala seperti candi Sukuh dan relief-relief binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut, dan ketam.
Mengenai masa pendirian candi Cetha, dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka 1373 Saka atau sama dengan 1451 Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut serta penggambaran figur binatang maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks candi Cetha diperkirakan berasal dari sekitar abad 15 Masehi dari masa Majapahit akhir. Bangunan utama pada kompleks candi Cetha terletak pada halaman paling atas atau belakang. Bentuk bangunan dibuat seperti candi Sukuh dan ini merupakan hasil “pemugaran” pada akhir 1970-an bersama-sama dengan bangunan-bangunan pendapa dari kayu. Di bagian paling atas kompleks candi Cetha, terdapat patung Dewi Saraswati yang sangat tinggi sedang berdiri di atas bunga teratai ditemani oleh dua angsa putihnya. Sungguh, bangunan tambahan yang sangat cantik. Pembangunan Puri Taman Saraswati ini disahkan pada tahun 2005 oleh Bupati Karanganyar.
Nah, bagaimana, apakah kalian tertarik untuk berkunjung ke candi Cetha? Semoga saja iya. Karena kalau bukan kita yang melestarikan warisan nusantara, siapa lagi. Jangan sampai kita tidak mengenal warisan budaya sendiri dan orang asing justru lebih menguasainya. Let`s do our best!! \^0^/
Penulis: @anitaLdewi